News Makale — Di tengah arus modernisasi dan berkurangnya minat generasi muda terhadap pertanian, sosok Nenek Lola, seorang petani tradisional di Kecamatan Kurra, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, menjadi teladan tentang ketekunan menjaga ketahanan pangan lokal.

Dengan usia yang sudah lanjut, Nenek Lola masih setiap hari turun ke sawah dan ladang untuk menanam padi dan jagung. Di lahan kecil warisan keluarganya, ia mempertahankan cara bercocok tanam tradisional yang diwariskan turun-temurun. Meski alat pertanian modern mulai banyak digunakan, ia tetap memilih cara alami tanpa pupuk kimia dan pestisida sintetis.
Baca Juga : Dinas Ketapang Tana Toraja Kembangkan Varietas Kopi Toraja Buntu Santung dan Langda
“Sudah dari dulu saya tanam begini saja, pakai pupuk kandang dan air hujan. Hasilnya tidak banyak, tapi cukup untuk makan keluarga dan tetangga,” tutur Nenek Lola saat ditemui di Kampung Salubarani, Kurra, Jumat (10/10/2025).
Menjaga Tradisi, Menopang Ketahanan Pangan Daerah
Menurut data Dinas Pertanian Tana Toraja, wilayah Kurra menjadi salah satu sentra kecil produksi padi lokal dan jagung yang masih dikelola secara tradisional. Para petani di daerah ini berperan penting dalam menjaga ketersediaan pangan lokal, terutama saat musim kemarau panjang seperti tahun ini.
Kepala Dinas Pertanian Tana Toraja, Yuliana Tandiasik, mengatakan bahwa petani tradisional seperti Nenek Lola berperan vital dalam menjaga keberlanjutan pangan dan keanekaragaman hayati. “Mereka tidak hanya menghasilkan bahan pangan, tapi juga melestarikan sistem pertanian yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Pemerintah daerah kini berupaya memberikan dukungan berupa bantuan bibit unggul dan alat pertanian sederhana yang sesuai dengan kebutuhan petani tradisional. Namun, pendekatan dilakukan dengan hati-hati agar tidak menghilangkan nilai-nilai kearifan lokal yang telah terjaga ratusan tahun.
Tantangan: Regenerasi Petani dan Perubahan Iklim
Meskipun ketekunan Nenek Lola patut diapresiasi, tantangan besar kini menghadang sektor pertanian tradisional di Toraja, yaitu minimnya regenerasi petani. Banyak anak muda memilih bekerja di kota atau sektor non-pertanian, membuat lahan-lahan sawah dan ladang mulai terbengkalai.
Selain itu, perubahan iklim yang menyebabkan pola hujan tidak menentu juga membuat masa tanam semakin sulit diprediksi. “Dulu air sungai selalu cukup, sekarang sering kering. Tapi kita tetap berusaha tanam,” kata Nenek Lola dengan senyum sabar.
Pemerintah daerah berencana memperluas program irigasi kecil dan pengelolaan air desa agar petani tradisional tetap bisa menanam sepanjang tahun, sekaligus mengurangi ketergantungan pada bantuan beras dari luar daerah.
Simbol Ketahanan Pangan dari Desa
Bagi masyarakat Kurra, sosok Nenek Lola bukan sekadar petani, melainkan simbol ketahanan pangan dan keteguhan hidup di tengah keterbatasan. Di setiap musim panen, hasil tanamannya sering dibagikan kepada warga sekitar tanpa pamrih — tradisi gotong royong yang masih kuat di daerah pegunungan ini.
“Kalau semua orang tanam sedikit saja, tidak akan ada yang kelaparan,” ucapnya dengan sederhana.
Keteladanan petani seperti Nenek Lola menjadi pengingat bahwa ketahanan pangan nasional tidak hanya dibangun dari proyek besar dan teknologi tinggi, tetapi juga dari tangan-tangan petani desa yang bekerja dengan hati dan cinta pada bumi.








